Wajib Pajak yang bergerak dalam industri kelapa sawit, PT DOF, mendapati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tidak Dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) senilai Rp1.182.000.000,00 ke Kawasan Berikat dianulir, sebuah keputusan yang menegaskan kembali prinsip ketat dalam Pasal 16B Ayat (1) Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksana terkait kepabeanan. Kasus ini menyoroti kompleksitas kepatuhan PPN untuk transaksi yang melibatkan entitas dengan fasilitas khusus, di mana aspek formal dokumen pabean, khususnya Pemberitahuan Pabean (BC 4.0), diposisikan sebagai persyaratan mutlak yang tidak dapat diabaikan oleh penjual TLDDP (Tempat Lain Dalam Daerah Pabean). Kegagalan menyediakan bukti pemasukan barang ke Kawasan Berikat secara sah menjadi titik tolak koreksi substansial PPN yang dilakukan oleh otoritas pajak.
DJP mempertahankan koreksinya berdasarkan tidak adanya bukti primer yang membuktikan bahwa BKP berupa minyak sawit dan turunannya benar-benar telah dimasukkan ke dalam Kawasan Berikat pembeli (PT CRC). Berdasarkan konfirmasi data dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dokumen BC 4.0 yang berfungsi sebagai administrasi pabean pemasukan barang tidak ditemukan atau tidak valid. Konsekuensinya, DJP menganggap fasilitas PPN Tidak Dipungut yang diklaim melalui Faktur Pajak kode 070 gugur, dan transaksi tersebut dikembalikan pada perlakuan PPN terutang di TLDDP dengan mekanisme dipungut sendiri, sehingga menimbulkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Di sisi lain, PT DOF berargumen bahwa transaksi penjualan secara substansi telah terjadi, dibuktikan dengan Invoice, General Ledger penjualan, dan bukti transfer pembayaran. PT DOF berpendapat bahwa kewajiban administrasi pabean BC 4.0 berada di pihak pembeli Kawasan Berikat dan DJBC, bukan pada penjual, sehingga tidak logis jika hak fasilitas PPN penjual digugurkan hanya karena ketiadaan dokumen yang berada di luar kontrolnya.
Majelis Hakim menolak argumen PT DOF dan menguatkan koreksi DJP. Majelis berpendapat bahwa fasilitas PPN Tidak Dipungut merupakan pengecualian yang harus dibuktikan secara ketat oleh Wajib Pajak yang mengklaimnya. Majelis menegaskan bahwa BC 4.0 adalah bukti mutlak dan tidak terpisahkan untuk mengesahkan penyerahan dari TLDDP ke Kawasan Berikat. Selain ketiadaan BC 4.0, Majelis juga menyoroti kelemahan dokumentasi internal PT DOF, termasuk kontrak penjualan yang hanya ditandatangani oleh satu pihak dan adanya inkonsistensi nilai antara Faktur Pajak dan Invoice. Kelemahan pembuktian yang menyeluruh ini menyebabkan Majelis tidak memiliki keyakinan memadai bahwa syarat-syarat untuk memperoleh fasilitas PPN telah terpenuhi.
Putusan ini memberikan implikasi signifikan, khususnya bagi supplier atau penjual di TLDDP yang bertransaksi dengan perusahaan Kawasan Berikat. Putusan ini menjadi preseden hukum yang memperkuat bahwa beban pembuktian fasilitas PPN, termasuk pengamanan dokumen pabean, berada sepenuhnya di tangan Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kode 070. Pelajaran penting bagi wajib pajak adalah bahwa kepatuhan PPN tidak hanya terbatas pada penerbitan Faktur Pajak yang benar, tetapi juga mencakup verifikasi dan pengamanan dokumen pabean (BC 4.0) sebagai bukti material pemasukan barang. Rekonsiliasi data secara periodik dengan pembeli KB dan DJBC menjadi strategi krusial untuk meminimalisasi risiko sengketa yang diakibatkan oleh ketidakselarasan data pabean dan perpajakan.
Kasus PT DOF menegaskan bahwa kerangka hukum perpajakan Indonesia, khususnya terkait fasilitas PPN Kawasan Berikat, mengutamakan pembuktian yang komprehensif, baik dari sisi substansi transaksi maupun formalitas administrasi pabean. Untuk mencegah sengketa serupa, Wajib Pajak harus memasukkan syarat penyerahan BC 4.0 yang valid dalam kontrak penjualan dan menjadikan dokumen tersebut sebagai syarat mutlak pelunasan pembayaran.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini